Pendakian Ciremai via Apuy

DSC09557-01 (640x427)

“Cirebon.. Cirebon.. terakhir.. Cirebon..!” Suara petugas yang bertanggung jawab di kereta nomor 2 Cirebon Express membangunkan lelap tidurku, jam setengah dua waktu itu. Untung saja pemberhentian akhir adalah kota Cirebon jadi aku tidak perlu takut kelewatan. Kang Aru, yang menjadi salah satu tim  pendakian ini meminta bertemu di Prapatan, Majalengka, jam lima pagi. Terlalu cepat kalau aku kesana langsung, Google Maps membantu aku menunjukkan waktu perjalanan dari stasiun Kejaksan ke Prapatan sekitar setengah jam. Aku putuskan istirahat di Kejaksan. Awalnya aku berencana beristirahat di salah satu tea shop yang kulihat di kereta, tapi setelah melewati ruang tunggu, sofa cokelat besar di ruang itu menggodaku. PT KAI memang pintar memberikan pelayanan,  ruang tunggu Kejaksan dibuat begitu nyaman dan dilengkapi fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan traveler. Tidak sedikit penumpang yang beristirahat di ruang tunggu tersebut.

Jam empat aku menyalakan smartphone dan memilih salah satu aplikasi transportasi online. Tidak berapa lama setelah memesan ada yang merespons. Transportasi online sangat membantu untuk tempat-tempat yang sulit mendapatkan angkutan umum apalagi jika harus berhenti dan menyambung beberapa kali. Namun jika berpergian sendiri dengan jarak yang jauh, menggunakan angkutan umum massal menjadi pilihan bijak agar pengeluaran tidak membengkak. Pak Supir membuka perjalanan dengan salam lalu menanyakan beberapa pertanyaan tapi karena masih mengantuk aku jawab seadanya. Pak supir sepertinya mengerti dan berhenti bercakap.

Mobil berhenti tapi belum sampai di tempat tujuan.  Pak supir bingung, aku lebih bingung. Pak supir bertanya apakah masih jauh, tentu aku jawab tidak tahu.  Aku sarankan untuk mengikuti peta, berhenti di titik yang sudah ada di peta. Perkara selesai, aku lanjutkan tidurku. Lima belas menit menuju jam lima aku tiba di Prapatan. Banyak yang menawarkan jasa angkutan ke Rajagaluh.  Tidak asing dengan Rajagaluh. Usut punya usut ternyata banyak bus tujuan Rajagaluh dari daerah Cikarang atau Bekasi. Jelas terlihat saat berada di terminal Rajagaluh. Bus tiga perempat kelas ekonomi tanpa AC berbaris rapi. Tentunya trayek bus tidak langsung tegak lurus mencari jalan terpendek antara Cikarang dan Rajagaluh. Bus melewati jalan berliku di Subang. Perjalanan dari Cikarang ke Rajagaluh bisa menjadi sepuluh jam. Cukup membuat ayam bertelur di dalam bus, bukan?

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Bertemu Kang Aru, sapa seadanya dan bercengkrama lebih lagi dalam perjalanan di atas motor. Pagi itu memesona sekali. Cahaya surya pagi yang tidak terlalu kuning tapi lembut menyapa warna hijau sawah di sepanjang perjalanan. Udara masih sejuk walaupun terkadang harus beradu kencang dengan truk-truk besar lintas propinsi. Kang Aru memelankan laju motor dan dengan logat khas Sunda yang lembut menyapa dan  menunjuk gunung yang akan kami daki, Ceremai. Gagah menjulang di Jawa Barat. Ceremai atau Ciremai? Wikipedia menyatakan nama gunung ini Ceremai yang diambil  dari tumbuhan perdu berbuah kecil yang sering dijadikan manisan, Phyllanthus acidus. Ciremai sendiri muncul dari gejala hiperkorek akibat banyaknya nama tempat di daerah Pasundan  yang menggunakan  awalan ‘ci-‘. Namun anehnya, setelah aku cek di beberapa website, gunung Ceremai sendiri berada di kawasan yang namanya Taman Nasional Gunung Ciremai bukan Taman Nasional Gunung Ceremai. Sedihnya, aku tidak bisa menemukan nama resmi untuk taman nasional ini di website kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Kami berhenti di minimarket dekat terminal Rajagaluh sambil menunggu tim lainnya. Sembari menunggu aku melengkapi kebutuhan yang terkadang tidak digunakan sama sekali dan masih utuh setelah turun bahkan sampai rumah. Tapi lebih baik sedia payung sebelum hujan dari pada basah kuyup. Logistik beres, tim lengkap, kami lanjutkan  ke titik pertemuan dengan tim lainnya di terminal Maja. Berbicara kata maja, apakah maja di kata Majalengka sama diambil dari buah Maja yang rasanya pahit itu? Penasaran, aku cari tahu dan ternyata kata maja di Majalengka juga berasal dari buah Maja. Kisahnya memiliki banyak versi, bisa dicari tahu di mesin pencari online. Wikipedia bahkan bercerita banyak sekali tentang cerita rakyat Majalengka, kayanya negeriku. Aku juga memastikan di group WA yang rata-rata orang asli Majalengka agar aku tidak tersesat dan menjadi sok tahu.

Menunggu di terminal Maja cukup lama sampai semua tim lengkap. Jam sepuluh kami berangkat ke basecamp Apuy dengan mobil bak terbuka. Seru! Jalan berkelok dengan kiri-kanan perkebunan warga. Sebagai informasi, jalan ke basecamp Apuy ternyata jalan yang sama ke Panyaweuyan, terasering di bukit-bukit untuk bercocok tanam daun bawang. Hanya saja, di ujung nanti ada jalan yang akan memisahkan jalur antara basecamp Apuy dan Panyaweuyan. Sampai di basecamp Apuy yang berada di 1.204 mdpl, lebih tinggi dari pada basecamp-basecamp jalur pendakian Ceremai lainnya, udara semakin sejuk. Jalur Apuy terkenal lebih bersahabat dari pada jalur  Linggarjati dan Palutungan. Selain berada di lokasi lebih tinggi, waktu tempuh antar pos juga tidak jauh. Terdapat enam pos sehingga lebih banyak tempat untuk beristirahat saat pendakian.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Pemanasan selesai, berdoa tidak terlupa. Pukul dua belas lebih lima belas kami bertiga puluh siap menikmati pendakian Ceremai jalur Apuy. Perjalanan dari basecamp Berod ke pos satu  Arban tidak terlalu sulit, pas untuk penyesuaian fisik sebelum bertemu dengan jalur pos-pos berikutnya yang terkenal berat. Jalan lebar dan masih ditemukan jalan aspal berbatu. Jalur ini masih dilalui motor untuk kebutuhan evakuasi. Kadang juga terdapat ojek dari pos satu ke basecamp bagi yang sudah tidak kuat berjalan saat turun. Di pos satu Arban (1.500 mdpl) terdapat pendopo untuk beristirahat.  Aku sendiri hanya duduk sebentar, sedikit merenggangkan badan, mengambil gambar lalu melanjutkan perjalanan ke pos dua.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Pos dua dinamakan Tegal Pasang di ketinggian 1.915 mdpl. Perjalanan pos satu ke pos dua lebih teduh. Hutan dengan pohon besar yang menjulang tinggi mulai banyak. Suara Garengpung yang nyaring menemani perjalanan, tanda peralihan musim penghujan ke kemarau.  Banyak pendaki yang beristirahat di pos dua, ada juga yang menyiapkan makan siang.  Aku belum lapar tapi harus tetap ada asupan energi. Sambil beristirahat aku mengeluarkan cha-cha yang juga menjadi camilan di sepanjang perjalanan. Sepuluh menit cukup untuk beristirahat di pos dua, aku melanjutkan perjalanan ke pos tiga.  Jalur semakin menanjak dengan tanjakan-tanjakan yang semakin curam. Jalur agak basah, pas untuk mendaki menurutku. Tidak berdebu dan juga tidak licin. Pohon besar yang batangnya sudah diselimuti lumut semakin banyak, sama dengan suasana pendakian gunung Slamet. Warna hijau yang menyejukkan mata sedikit melepas rasa letih dan membuat pikiran lebih tenang dalam pendakian. Sampai di pos tiga, Tegal Masawa pada ketinggian 2.400 mdpl, udara semakin dingin. Panas tubuh yang dihasilkan dari pembakaran kalori jadi tidak terasa tapi keringat tetap banyak.  Aku mengeluarkan bekal makan siang, nasi kuning yang dibeli di pasar Maja ditambah sepotong ayam goreng, cukup untuk mengisi kembali tenaga.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Tiga puluh menit lewat jam dua, aku melanjutkan perjalanan ke pos empat. Lebih banyak beristirahat dan lebih menguatkan tekat untuk melewati tanjakan-tanjakan yang terus melemaskan kaki. Dalam pendakian jalur Apuy ini, sebelum sampai di setiap pos terdapat informasi bahwa pos selanjunya akan sampai dalam sepuluh menit. Tapi jangan pernah menghitung persis sepuluh menit tersebut karena bisa menjadi harapan palsu. Nyatanya, perjalanan sesungguhnya akan lebih dari sepuluh menit. Mungkin saja sepuluh menit tersebut dikur oleh seorang ranger yang berjalan tanpa berhenti dan beristirahat.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Suara percakapan pendaki dari pos empat menyemangatiku. Tapi sebelum sampai di pos empat ada tanjakan yang harus dilalui, kaki semakin lemas, napas semakin sulit. Pos empat, Tegal Jamuju, cukup luas pada ketinggian 2.600 mdpl. Sebentar, sebelum melanjutkan cerita pendakian mari  berhitung dengan logika. Dari pos tiga ke pos empat hanya menambah dua ratus meter ketinggian tapi rasanya sudah berjalan lebih dari lima kilometer. Memang secara pitagoras, garis miring yang sekarang aku lewati akan lebih panjang dari tegak lurus ketinggian antar pos, tapi apakah sampai lima kilometer? Jawabannya gampang, bisa jadi jalur yang dilalui tidak lurus naik ke atas tapi berputar-putar di punggung gunung. Lima kilometernya? Itu hanya perasaan saja karena rasa letih.  Namun, ada teori lain yang tidak bisa dihimpun dengan logika, jarak juga menjadi relatif jika ada perasaan yang terkenal romantis dengan istilah kasmaran yang mencampuri perhitungan pasti.

Di pos empat ada beberapa pendaki yang sudah mendirikan tenda dan menginformasikan kalau pos lima sudah penuh. Aku berterima kasih untuk informasinya dan mengatakan kalau sudah ada tim yang membawa tenda dan mendapatkan tempat di pos lima. Fisik seolah-olah tidak sabar untuk duduk beristirahat sambil menikmati secangkir teh panas. Lima menit beristirahat di pos empat aku melanjutkan pendakian ke pos lima. Semakin sering berhenti sambil bertanya ke diri sendiri kenapa mau melakukan hal seperti ini? Capek, kaki lemas sampai gemetar, napas naik turun tapi tidak juga kapok. Candu ketinggian setelah pendakian mengalahkan rasa kapok lalu meracik tanya, kemana lagi kaki akan melangkah?

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Setengah jam berlalu, tidak juga sampai. Terus berjalan dan akhirnya bertemu dengan beberapa pendaki yang memasang tenda di tanah datar yang cukup menampung satu sampai dua tenda. Pos bayangan, tanda – tanda pos lima sudah hampir sampai. Lima belas menit menuju empat sore, kaki berpijak di pos lima, Sangahiang Rangkah. Pada ketinggian 2.800 mdpl ini tanah lapang cukup luas, cukup untuk menampung dua puluh tenda.

Menurutku, Ciremai saat itu tidak banyak pendaki tapi di gunung-gunung seperti inilah masih ditemukan pendaki yang mengerti hidup bersosial di gunung. Sebut saja Gede, jangan harap menemukan banyak sapa dan canda antar pendaki yang tidak kita kenal sepanjang perjalanan. Papandayan, pendaki hanya lewat saja bahkan terkadang, senyum pun tidak mendapat balasan. Padahal, salah satu hal yang ingin ditemui saat mendaki adalah interaksi yang tidak mengenal latar belakang , interaksi tulus tanpa curiga walau sekedar menanyakan dari mana atau menyemangati dengan mengatakan bahwa pos selanjutnya sebentar lagi.  Dan aku masih menemukan di pendakian ini. Di depan tenda yang sudah didirikan oleh kang @aboolangers_724 , aku mendapatkan kehangatan dari pendaki rombongan lain dari Garut. Awalnya aku kira mereka satu rombongan dengan aku yang lebih duluan mendaki untuk mencari tempat bertenda, ternyata bukan.

Sambil menikmati teh hangat, aku duduk di atas kayu besar bekas pohon yang tumbang. Sinar matahari sore waktu itu menyeimbangi suhu udara yang dingin. Bercengkrama dengan orang yang baru saja aku kenal tapi terasa begitu dekat. Hangat, sehangat sinar matahari sore. Tidak berapa lama matahari telah kembali ke peraduannya meninggalkan aku bersama dinginnya malam. Malam itu cerah, langit penuh dengan bintang yang berganti-gantian tanpa mengalah menunjukkan kecantikan warnanya. Memang pos lima bukan padang rumput atau lahan luas tanpa pohon, jadi untuk memfoto langit malam penuh bintang dengan sudut pandang yang luas agak sulit. Tapi itu tidak menjadi kendala. Aku mengambil dudukan kamera kecil di tasku dan mengganti lensa kamera.  Mencoba mengambil langit penuh bintang yang dipadukan dengan pepohonan. Aku suka, begitu indah

LRM_EXPORT_20180508_143743 (640x427)

Setelah santap malam kami disuruh untuk tidur karena jam tiga pagi besok harus ke puncak. Suasana kebersamaan memang lebih terasa hangat jika diisi dengan berkisah satu sama lain dan saling mengenal tapi karena perjalanan yang padat dan dibutuhkan ketahanan fisik maka lebih baik beristirahat. Satu tenda diisi berempat atau bertiga tergantung kapasitas tenda. Sempit memang, tapi terasa lebih hangat. Jam tiga teman tendaku bangun bersiap untuk summit, aku sendiri berat sekali untuk membuka mata dan keluar dari sleeping bag. Setelah dua orang keluar, baru nyawaku terkumpul untuk bersiap. Satu orang lagi masih tertidur tanpa sleeping bag dan hanya dengan celana pendek. Dia menekuk kedinginan tapi tetap saja tidur. Nyaman? Entahlah. Setelah aku tanya ternyata dia tidak membawa sleeping bag. Aneh tapi nyata, aku heran. Tapi pada pendakian gunung manapun kita yang paham kondisi fisik kita dan jangan sampai menyusahkan orang lain karena saat pendakian kita bertanggung jawab penuh terhadap keselamatan diri sendiri walaupun banyak yang rela menolong jika terjadi sesuatu.

Jam tiga lewat dua puluh aku siap untuk summit. Aku tidak menemukan rombonganku di pos lima, entah sudah berangkat, entah karena aku masih setengah sadar mencari mereka.  Aku putuskan summit sendiri mengikuti rombongan yang lain. Jalan ke puncak tidak lebih mudah. Lebih banyak jalur air yang sempit dan jalur dengan batu yang gampang menggelinding ke bawah. Semakin ke atas semakin sulit mendapatkan oksigen. Aku melewati percabangan jalan dari jalur Patulungan, saat itu tidak banyak yang pendaki dari jalur Patulungan.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Penanda dan peringatan di gunung Ceremai jelas dan masih baru, hal ini mendandakan pengelola Taman Nasional Gunung Ciremai  bekerja giat untuk mencegah dan mengurangi kecelakaan dan kejadian yang tidak diinginkan. Plang pos enam, goa walet, terlihat tapi aku tidak menemukan tanda-tanda adanya goa seperti yang aku lihat  di gambar pada beberapa blog. Aku tidak beristirahat dan terus melanjutkan perjalanan sembari terkadang berhenti sebentar jika sudah lelah. Warna langit di timur cakrawala semakin merona, tanda matahari akan segera terbit. Jalur apuy berada di bagian barat gunung Ceremai jadi jika kita belum sampai ke puncak pada saat matahari terbit, akan sulit mendapatkan momen matahari terbit dan hanya mendapatkan pendar cakrawala jingga saja. Tapi hal itu tidak menjadikanku terburu-buru untuk sampai puncak sebelum matahari terbit. Keselamatan adalah yang utama.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Beberapa orang yang berada beberapa jarak di depanku berteriak puncak. Aku sendiri tidak bisa melihat seberapa jauh lagi puncak dari posisiku saat itu karena kondisi jalur Ceremai yang terdapat pohon sampai ke puncak. Baiknya, pohon-pohon ini cukup membantu melindungi pendaki dari dinginnya tiupan angin. Bandingkan dengan  jalur summit Rinjani yang terbuka. Angin dingin dari kiri, kanan, depan dan belakang cukup menyulitkan pendakian karena jalur yang sama sekali tidak ada pohon.

Setelah beberapa langkah aku benar-benar berada di  puncak. Ceremai, atap Jawa Barat, 3.078 mdlp. Sudah cukup banyak orang di puncak dan aku juga belum menemukan rombonganku. Terdapat pagar besi di puncak untuk sebagai batas pendaki berdiri agar tidak terlalu masuk ke bibir kawah dan aku berpikir keras bagaimana pekerja-pekerja membawa pipa-pipa besi dari bawah sampai ke puncak. Tidak, tidak mungkin dengan helikopter atau dengan truk besar. Pasti dipikul dengan jalur yang sama dengan yang kulalui.

LRM_EXPORT_20180508_174203 (640x640)

Matahari belum terbit saat aku tiba di puncak. Orang-orang banyak sekali yang mengabadikan momen dengan berfoto. Aku sendiri, duduk melepaskan lelah sambil mempersiapkan kamera untuk mengabadikan momen ini. Lampu yang masih berpendar di kota Majalengka menghiasi pandanganku ke bawah dan jika aku memandang ke arah timur lautan awan menyelimuti daratan bumi dan Slamet yang menjadi atap jawa tengah seolah-olah mengucapkan sapa paginya. Diseberang sana, kulihat beberapa pendaki berdiri di pinggir kawah.  Aku mereka-mereka apa yang mereka rasakan? Sepertinya mereka takjub dengan negeri damai di atas awan yang dipoles dengan warna fajar.  Melupakan angin kencang yang dingin dan lelah, aku ada di waktu pendek yang jarang kutemukan. Aku mengambil beberapa gambar lalu berjalan ke ujung timur. Pendar fajar kian menguning, semakin menegaskan garis cakrawala.

DSC09549-01 (640x427)

Pagi semakin terang dan cerah sekali, langit biru jernih tapi udara tetap dingin dan angin terus bertiup kencang. Aku bertemu dengan rombonganku. Beberapa orang belum sampai di puncak dan kami menunggu di balik pohon perdu sampai semua anggota lengkap di puncak untuk berfoto bersama. Sesi foto dan menikmati puncak Ceremai selesai, kami turun. Sampai di pos enam aku masih penasaran dengan goa walet. Ternyata goa walet tidak berada persis di depan jalur. Kita harus keluar jalur dan turun sedikit. Beberapa pendaki ada yang membuat tenda di pos ini.

Tiba di pos lima lebih cepat dari pada saat mendaki. Beberapa orang sudah tiba dan kami menyiapkan makan siang. Setelah makan aku berkemas dan turun. Turun memang lebih cepat dari pada naik tapi bagiku, turun lebih menyulitkan karena jari kakiku selalu sakit terutama jari kaki dan lutut lebih terasa lemas karena menopang berat badan dan bawaan. Sebelum sampai di pos satu air minumku habis dan tidak ada persediaan lagi. Menjadi hal yang penting untung diperhatikan saat mendaki adalah ketersediaan sumber air. Ceremai sendiri tidak memiliki sumber air jadi harus membawa persediaan air untuk kebutuhan selama pendakian. Aku sendiri membawa tiga botol 1,5lt air dan satu botol air minum 600ml untuk perjalanan.

Jam setengah empat aku tiba di basecamp Apuy dan langsung memesan es teh manis di salah satu kedai. Di basecamp Apuy terdapat kamar mandi yang airnya sangat segar dan dingin. Setelah semua anggota tim lengkap, kami makan Bersama di area perkemahan basecamp Apuy dan tidak lupa menikmati lembutnya sinar matahari terbenam.

Perjalanan turun ke terminal Maja sudah malam. Aku sebenarnya was-was takut tertinggal kereta jam Sembilan malam di Kejaksan, Cirebon. Sampai di terminal Maja jam tujuh dan aku langsung pamit ke semua anggota tim untuk duluan agar tidak terlambat tiba di Kejaksan. Aku sangat berterima kasih kepada kang Aru yang baik hati sekali mengantarkan sampai ke Kejaksan. Ngebut, adu cepat dengan penguasa pantura dan akhirnya aku tiba di Kejaksaan pukul Sembilan, lima belas menit sebelum kereta berangkat.

Terima kasih kepada @exploremajalengka @ngetripmjlk telah mengakomodir pendakian ini.
Terima kasih juga kepada semua tim dan peserta, @akarifqulmaula @Itssopyan14 @arifridwan55 @petualang_senja12 @bakhri__ @blendakanda @jcp_tours @annaluthfiana @gis_nggis @eckyrfebrian @mellyutami @gusin.ms @apep_mulkini @didanpratama @budi_ryan @Ahmadika37 @fahrul_1203 @riiday_ @gilangsagitap @wildanabdirahman @nono.k1993 @yudanegara95 @ulfaaa88 @furqon_al.faruq @restiwidiyanti @gotavia_ig @sania_dex @tania_dextroo @aboolangers_724 @maulana_ipung
semoga bisa bertemu kembali di waktu & tempat lainnya.

Salam lestari,
Endar Permadi